Selasa, 08 November 2011

KALIMANTAN

           Setiap malam, selalu aku lalui dengan mata yang terbuka lebar. Mungkin sampai jam dua atau bahkan jam tiga. Dan yang aku lakukan sangat monoton. SMS-an atau membaca buku. Terkadang hanya berdiam diri, mengingat-ingat kejadian yang sudah berlalu, atau mungkin mencoba merencanakan sesuatu. Tetapi tidak untuk semalam tadi. Aku tidak SMS-an, mendengarkan musik ataupun membaca buku. Transmigrasi. Kamu tahu apa artinya? Berpindah dari habitat dan adat yang sudah membesarkan kita. Entahlah, aku sangat ngeri dengan kata itu.
           Hampir setiap hari, saudara laki-lakiku yang bermukim di Kalimantan menghubungi. Dia menceritakan segala sesuatu yang menyenangkan, bahkan mengerikan di tanah pijakannya yang baru. Tentang hutan yang masih alami, tentang hewan liar, misalnya orang utan yang mencuri seorang lelaki –yang harus melayani nafsu seks hewan betina–ahh…membuatku ngeri. Terkadang, pada malam hari ada hewan yang berkeliaran di desa. Kemudian dalam hati aku berkata, sesuatu yang sangat mungkin terjadi karena para manusia itu secara tidak langsung telah mempersempit daerah kekuasaan para hewan. Saudaraku juga bercerita bahwa hampir setiap hari Pakdhe harus menanam ulang bibit sayur karena dirusak pula oleh hewan yang berkeliaran tadi. Kata saudaraku pula, kini warna kulitnya semakin gelap karena setiap hari ia harus berkebun. Hidup di daerah transmigrasi memang harus giat dan kreatif agar bisa hidup dengan ekonomi normal. Jika saudara laki-laki yang pertama suka menceritakan hal yang bersifat umum, saudara laki-lakiku yang kedua selalu bercerita tentang kisah cintanya yang harus ia tinggalkan seiring waktu yang menariknya ke tanah Kalimantan. Sebelum bertrasmigrasi, dia memiliki seorang gadis pujaan. Namanya sama dengan nama tengahku. Katanya, perempuan itu cantik dan bermata ala Cina. Sipit. Harus ia tinggalkan karena jarak yang terlalu jauh untuk menjadi sebuah hubungan. Dan banyak cerita lainnya. Yang pasti, saudaraku seorang playboy (di mataku).
           Sebenarnya, aku berkeinginan untuk “berlibur ke sana” untuk membuktikan segala celotehan mereka. Tetapi, saudaraku dan pihak keluarga menginginkan lebih dari itu. Mereka ingin menarikku ke sana, untuk selamanya.  Mengapa? Aku tidak tahu. Kesedihan dan kegelisahan serasa merambat melalui dinding kamarku, dan hendak mencengkeramku. Sahabatku! Teriakku dalam hati. Aku selalu berusaha untuk menenangkan pikiranku sendiri. Dan ketika itu, aku sangat berterima kasih kepada seorang laki-laki yang membantu untuk melepaskan ikatan hatiku kepada lelaki yang sebenarnya bukan kekasihku. Meskipun mungkin akan menyakitkan bagi keduanya, “maaf, aku memang harus meninggalkan sahabat, teman, keluarga dan habitatku. Tanah Kalimantan yang katanya menyuguhkan berkeping-keping kebahagiaan telah mencium  aroma tubuhku. Dikesuburannya, dia ingin memelukku.”
           Sebenarnya, sudah cukup lama aku mengetahui rencana itu. Tetapi aku tidak menganggapnya suatu hal yang penting karena kedua orangtuaku tidak mungkin mengambil keputusan tanpa seizinku karena semua berhubungan dengan masa depan. Tetapi ternyata aku salah mengambil perkiraan. Dan ketika mendengar keputusan itu, aku benar-benar merasa mati dan tidak  dianggap ada. Bukan hanya hati ini yang sakit. Tetapi perutku juga. Beberapa hari aku tidak merasakan lapar ataupun haus. Karena hatiku memang tidak merasa tenang. Meskipun aku selalu berusaha menutup  keresahanku, terkadang ada juga yang memergokinya. Tetapi tidak  akan pernah ada yang tahu bahwa aku akan meninggalkan mereka. Tidak  akan aku beri tahu. Itu tekadku. Biarkan aku hanya seperti angin. Datang dengan tiba-tiba dan kemudian pergi tanpa ada yang memperhatikan. Aku bisa membuat alasan. Tidak hanya satu macam, tetapi berjuta!
         Sebenarnya, secara tidak langsung aku telah mencicil salam perpisahan. Dengan memeluk, menggandeng atau mencium mereka. Kehidupan memang tidak akan pernah bisa berjalan dengan mulus. Selalu saja ada palang-palang yang menutup jalan. Terkadang hujan disertai petir juga menjadi pendukungnya. Dan yang sedang aku lalui saat ini, baru sekedar tetesan air yang tidak sengaja jatuh, sehingga membuatku berbasah pipi. Tentang perasaan, aku memang selalu sensitif. Tetapi aku berusaha menutupi kesensitifanku. Bukan karena aku ingin sok menjadi “sang keras kepala”, tetapi ada hal lain yang ada dipikiranku. Dan seringkali hatiku berkata “jangan sampai ada orang yang tahu. Cukup mulut dan pikiranmu saja,”.
          Kalimantan…Kalimantan…
          Tanahmu menjadi sebuah momok di mimpiku.
***
         Sama seperti minggu-minggu sebelumnya, aku datang ke acara perjamuan sastra di kampus. Kebersamaan malam ini bisa jadi adalah malam terakhirku bersama orang-orang yang aku sayang. Semakin tidak dapat menutup mata, semakin banyak kebingungan yang menutup jalan pikiranku. Bukan karena aku sedang menikmati semua kesusahan ini, tetapi hatiku tidak dapat melepaskan beberapa orang yang sudah memenuhi lingkaran kehidupan. Mereka semua terlalu berarti untuk begitu saja aku tinggalkan. Tetapi bagaimana dengan percakapan malam itu? Aku harus berjanji untuk melupakan segala kenangan. Seperti manusia mati, mungkin. Tetapi tetap saja ragaku bisa bergerak. Aku yakin, ingatanku tidak dapat mematikan kenangan. “Kapan pun kamu akan kami kirim ke Kalimantan, selalu bersiaplah. Mungkin besok ini kau akan keluar dari peradaban Jawa. Tetapi tidak menutup kemungkinan kamu akan pergi beberapa tahun lagi. Tergantung suasana”. Kata ibu ketika itu. “Ah, ibu. Jika memang akan kamu kirimkan ragaku ini ke tanah transmigrasi, kirimkanlah. Tetapi jangan ungkit hal itu lagi. Jiwaku akan selalu tertinggal di sini,” Kataku sambil berlalu. Ibu menggeleng-geleng kepala. Aku melihatnya dari kaca jendela. Bapak? Selalu saja hanya menyembunyikan mukanya di balik koran. Kakak? Mungkin sedang workshop di Jakarta, Bali atau di tempat lain. Siapa aku ini? Tidak perlu dipikirkan keadaannya. Apa aku ini anak pungut? Atau perempuan belia yang dijual ke saudaranya? Astaghfirullah. Aku selalu suudzon dengan kehidupan.
          Kodok ngorek menemani malamku yang selalu sepi. Suara-suara manusia memberikan kebisingan di kepalaku. Bukan, bukannya aku ingin menyalahkan mereka. Tetapi aku juga tidak boleh menyalahkan Tuhan yang memberikanku sepasang telinga dan melengkapi mukaku dengan sebuah mulut yang tidak pernah menutup. Siapa yang perlu disalahkan? Tentu saja jalan pikiranku yang sangat egois. Semakin lama aku bermalam, semakin bingung dengan hal apa yang harus aku lakukan, tidak bisa menulis karena tak ada kertas beserta penanya. Tidak ada musik karena hanya akan mengganggu manusia yang sudah bermimpi. Tuhan, berikan aku pencerahan. Sahabatku, kamulah satu-satunya tumpuan di hidupku. Tetapi entah di mana kau sekarang, tidak aku lihat lagi hatimu yang selalu bersanding di hatiku. Tidak pernah aku tatap lagi sepasang mata yang dulu selalu melihat kesedihan dan menyadarkan aku tentang kesedihan. Tetapi di sisi lain, aku merasa lega. Karena mungkin mereka akan mudah melupakan aku dari hidupnya. Dan menghapus tinta warna yang pernah aku cipratkan. Dan tentang cinta, tidak pernah aku dekati lagi manusia-manusia yang bernama laki-laki. Karena semua tidak akan berarti. Hanya akan menambah beban pikiran.
***

           Pagi ini mataku sangat berat untuk dibuka. Ya, jam malam yang selalu aku pergunakan untuk merenungi keadaanlah penyebabnya. Aku sisir rambutku yang tidak terlalu panjang hingga halus, kemudian aku kucir ke belakang. Aku tengok jam dinding di ruang tengah, ahh…jam sembilan. Biasanya aku tidak seterlambat ini. Tapi ada yang aneh, mengapa ibu tidak memarahiku? Aku cari dia di dapur, tidak ada. Piring dan gelas kotor sudah kembali tertata rapi di raknya. Di halaman, tidak kutemukan batang hidungnya. Bekas sapuan yang rapi menampakkan kerajinan ibu. Di ruang makan, hanya ada kursi dan mejanya. Kemana ibu? Kakak pun tidak ada. Aku baru ingat, memang semalaman aku tidak membukakan pintu untuknya. Mungkin sedang ada acara di kampus sehingga ia terlambat pulang. Bapak mungkin sudah pergi ke sawah. Karena kesepian, aku mencuci bajuku yang sudah menumpuk. Bajuku? Tidak ada tumpukan pakaian kotor. Dibuangkah oleh ibu? Aku berlalu ke penjemuran. Ternyata sudah dipenuhi pakaianku dan kakak. Keanehan apa lagi ini? Tanyaku dalam hati. Karena merasa jengkel dengan suasana, aku pergi untuk nonton TV. Hanya kebosanan yang aku temukan. Aku kembali berbaring di kamar sambil membaca komik. Adrenalin 4. Aku beruntung telah membeli judul komik itu karena bagian empat adalah akhir dari cerita tersebut. Jadi, aku tidak perlu mengeluarkan banyak uang untuk membeli cerita selanjutnya. Adrenalin adalah satu dari puluhan judul komik yang aku koleksi. Aku memang suka menghabiskan waktu untuk membaca cerita bergambar.
         Sudah dua jam aku di kamar. Belum juga ada manusia yang pulang. Karena cuaca yang panas, aku memilih untuk tidur. Baru beberapa menit aku menutup mata, HP-ku berdering, khas dengan suara kodoknya.
        “Halo” Sapaku.
        “Halo sayang, lagi ngapain?” Jawab seseorang yang ada di ujung telepon.
        “Ah, kamu Mas. Aku baru mau tidur. Di rumah tidak ada orang” Keluhku kesal.
        “Lho, memangnya Bulik sama Paklik ke mana? Kasihan sekali adikku tersayang ini”
        “Iya, nggak tahu pada ke mana. Ada apa, Mas? Tumben menghubungi aku jam segini? Biasanya kan sore atau sesudah zuhur”
         “Iya, kangen sama suara kamu, hahaha…” Terdengar tawa renyah di telingaku, “Mas tadi jalan-jalan ke hutan bersama penduduk asli sini. Kamu tahu apa yang kami temukan?” Tanyanya dengan penuh teka-teki.
         “Apa? Ular besar? Monyet?”
         “Itu sih sudah biasa.”
         “Apa dong?” Tanyaku tidak dapat menahan rasa penasaranku.
        “Induk macan dan anaknya! Besar sekali induk itu. Anaknya masih kecil. Mungkin baru beberapa hari keluar dari perut induknya!”
       Kakakku memang jago bercerita. Dia memiliki suara yang menarik, sehingga aku selalu senang mendengar celotehannya. Cocok untuk menjadi pendongeng karena pandai juga mengeluarkan suara yang mirip dengan beberapa hewan, seperti anjing, ayam, macan, monyet, kucing, dan hewan lainnya.
         “Ah, masa? Lalu kalian apakan hewan yang berbahaya itu?”
         “Ya kami diamkan saja. Para penduduk asli tidak mau mengganggu kehidupan makhluk hidup lain ….”
         “Nduk, ini tiket pesawatnya” Kata ibu yang tiba-tiba sudah ada di kamarku.
         Aku kaget dengan kehadirannya yang seperti jalangkung. Datang tak dijemput, pulang tak diantar.
         “Tiket apa, Bu? Siapa yang mau pergi?” Tanyaku penasaran. Tapi pikiranku sudah kacau, jangan-jangan inilah hari terakhirku di Jogja.
          “Kamu, ini tiket berlibur ke Bali. Berliburlah ke sana” Katanya sambil tersenyum.
           Aku menjadi lega, tetapi masih dirundung penasaran.
           “Dalam rangka apa Ibu memberikan tiket terbang ini kepadaku? Tidak biasanya Ibu sebaik ini?” Tanyaku mulai bersahabat.
           “Besok kan ulang tahunmu yang ke dua puluh” Katanya sambil menepuk bahu kananku.
           “Ha?”.
          Jujur, aku sangat terharu! Aku meloncat kegirangan, kemudian memeluk ibu. Tindakan yang tidak pernah aku lakukan sebelumnya.
          “Ibu tidak sedang berbohong, kan?” Tanyaku masih kurang percaya.
          Mungkin saja ini hanya mimpi. Dan aku akan terbangun sebelum aku sampai ke pulau Dewata.
          “Tidak. Lihatlah tiket ini.” Katanya sambil menunjukkannya kepadaku.
         “Lalu, aku pergi dengan siapa? Bagaimana dengan penginapannya? Masa aku pergi sendiri? Seperti orang hilang saja”
         “Tidak. Sesampainya di bandara, kamu akan dijemput sama Mas Wahyu dan Pakde Soni. Mereka yang akan menemanimu”
          Mas Wahyu? Pakde Soni? Keluarga Kalimantan.
          “Sudah ya, ibu akan mempersiapkan segala sesuatunya untuk bekalmu.
          Sudah tidak aku pikirkan lagi suara kakakku yang mungkin masih berceloteh di ujung HP. Kacau!! Kataku dalam hati.

Yogya, 2011

0 komentar:

Posting Komentar