Rabu, 25 Januari 2012

Sebuah Makalah (Tugas Aing)

ANALISIS PSIKOLOGIS TERHADAP TOKOH MARDIO DALAM CERPEN “CINTA TAK ADA MATI”


A.  PENDAHULUAN
1.      Latar Belakang Masalah
Tidak ada sebuah kata pun yang lebih mendua dan lebih membingungkan dari pada kata ‘cinta’. Ia digunakan untuk menunjukkan hampir setiap jenis perasaan kebencian dan kemuakan. Itu terdiri dari segala sesautu, dari cinta pada es krim sampai cinta pada sebuah simfoni, dari simpati sejuk sampai perasaan kedekatan yang paling kontinu. Orang merasa mencintai jika sudah ‘jatuh pada’ seseorang. Mereka menyebut cinta mereka dependen dan juga pemilikannya. Mereka percaya, kenyataannya, bahwa tidak ada sesuatu yang lebih mudah dari pada untuk mencinta, dan kesulitannya hanya terletak dalam mendapatkan objek yang benar serta kegagalan mereka untuk mendapatkan kebahagiaan dalam cinta disebabkan oleh ketidak-beruntungan dalam menemukan pasangan yang tepat dan benar. Tapi sebaliknya, bagi semua pikiran yang bingung dan khayali ini, cinta merupakan sebuah perasaan yang spesifik; sementara itu setiap manusia memiliki kapasitas bagi cinta, realisasinya salah satu pencapaian yang paling sukar (Fromm, 1988:76).

Setiap manusia tentu saja memiliki rasa cinta terhadap pasangannya. Entah itu rasa cinta seorang manusia kepada Tuhannya, maupun kecintaan seseorang sebagai saudara, sebagai ibu kepada anaknya, atau sebagai seorang suami kepada istrinya.
Juga rasa cinta kepada lawan jenis yang berawal dari ketertarikan antara keduanya.
Tidak sedikit juga orang-orang yang mendambakan cinta, selalu tidak mudah untuk mendapatkannya. Ada yang cintanya tidak terbalas. Ada juga yang keras kepala dalam mencintai seseorang. Tentunya, cinta itu bersifat universal, seperti bahasa yang dimengerti oleh manusia mana pun, jadi semacam penyatu perbedaan. Tetapi selalu ada proses dalam mencintai, seperti halnya penderitaan karena yang dicintai meninggal, rasa sakit hati, kecemasan saat ditinggal pergi. Tapi yang jelas, cinta adalah sesuatu yang paling berpengaruh dalam hubungan antar manusia.
Esensi cinta adalah untuk ‘bekerja keras’ demi sesuatu untuk membuat sesuatu tumbuh, bahwa cinta dan kerja keras tidak dapat dipisahkan (Fromm, 1988:77).
Tetapi cinta tidak bisa berjalan sendiri begitu saja tanpa pertimbangan akal. Cinta tanpa berpikir akan menjadi cinta yang buta. Seperti halnya keterkaitan antara mental dan emosional. Meskipun berbeda, keduanya mesti bisa berjalan berdampingan. Di sisi lain, cinta terkadang melahirkan hal-hal yang tragis, juga bisa melahirkan motivasi yang paling kuat bagi sesorang. Cinta tanpa pertimbangan akal akan berjalan tanpa memperdulikan pertimbangan pikiran, akan mengalahkan rasionalitas manusia, dan mendorong seseorang untuk melakukan hal-hal yang tidak logis. Mengenai hal ini Erich Fromm (1988:76) menyatakan bahwa salah satu dari keduanya (akal dan cinta) tidak mungkin tanpa yang lain.
Dalam karya sastra—khususnya novel dan cerpen—telah banyak ditulis kisah-kisah cinta yang romantis, tragis, dan ada juga yang melankolis, seperti dalam novel Lingkaran Kabut (2003) karya Korrie Layun Rampan, kisah percintaan yang tragis antara beberapa tokoh dalam novel Eka Kurniawan, Cantik Itu Luka (2006), juga kisah percintaan antara Minke dan Anneliese dalam roman Bumi Manusia (2005) karya sang maestro Pramoedya Ananta Toer. Serta kisah percintaan yang melankolis dalam cerpen-cerpen Puthut EA. Kisah-kisah yang bertemakan cinta bisa menjadi sumber inspirasi yang paling luas bagi penulis mana pun yang ingin menuliskan kisah-kisah dengan tema itu.
Dalam kajian ini, telah dipilih cerpen “Cinta Tak Ada Mati” karya Eka Kurniawan sebagai sumber analisis dengan menerapkan teori psikologi pada kondisi kejiwaan tokoh Mardio.
   
2.      Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, dapat dirumuskan beberapa masalah yang harus di teliti. Pertama, mencari penyebab penderitaan tokoh dalam cerpen “Cinta Tak Ada Mati”. Kedua, kekeras-kepalaan untuk mencintai dalam diri tokoh. Ketiga, pengaruh tokoh dalam menjalani kehidupan.
Demikianlah telah dirumuskan poin-poin penting permasalahan yang akan di teliti dalam cerpen “Cinta Tak Ada Mati”.

3.      Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan kejiwaan dan menggolongkan jenis cinta tokoh Mardio melalui teori psikoanalis. Mengidentifikasi penderitaan tokoh Mardio dalam mencintai lawan jenisnya, dan juga untuk mengetahui dampak kecintaannya bagi kehidupannya.





B.  ISI
1.      Kajian Teori
Analisis ini akan menggunakan teori psikologi yaitu psikoanalisis. Menurut. Ruth Berry dalam buku Freud A Beginners Guide yang telah diterjemahkan dengan judul Freud: Seri Siapa Dia (2001), psikoanalisis adalah sistem menyeluruh dalam psikologi yang dikembangkan oleh Freud untuk menangani orang-orang yang mengalami neurosis dan masalah mental lainnya. Tugas psikoanalisis adalah untuk mengobati penyimpangan mental dan syaraf, menjelaskan bagaimana kepribadian manusia berkembang dan bekerja, dan menyajikan teori mengenai individu dapat berfungsi di dalam hubungan personal dan masyarakat.
Sedangkan Freud (2002:3) sendiri berkata tentang psikoanalisisnya. “Setidaknya satu hal yang telah saya anggap anda telah tahu, yaitu tentang arti nama psikoanalisis sebagai metode sebuah perawatan medis bagi orang-orang yang menderita gangguan syaraf; dan saya bisa memberi anda contoh perbedaan dan bahkan berlawanan dengan cabang-cabang pengobatan lain yang sudah dikenal.”
Sigmund Freud, menjelaskan bahwa alam bawah sadar memiliki pengaruh besar dalam perilaku manusia. dengan kata lain, yang memainkan peran paling penting dalam kehidupan manusia adalah ketidaksadaran atau alam bawah sadarnya.  Selain itu, Freud dikenal juga dengan teori libido (dorongan). Ia menggunakan istilah libido untuk mengidentifikasi semua bentuk dorongan yang mendukung dan memelihara kehidupan. Menurutnya terdapat dua naluri dalam diri manusia. Pertama,yaitu naluri kehidupan, dorongan untuk tetap mempertahankan hidup. Disebut juga dengan istilah Eros. Eros adalah daya gerak untuk mempertahankan hidup. Sedangkan yang kedua, ialah naluri kematian, Freud menyebutnya dengan istilah Thanatos. Baginya, setiap manusia memiliki panggilan tidak sadar untuk mati (Subono, 2010: 50-51).
Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan psikoanalisis ada baiknya kita kutip tulisan Sigmund Freud yang menjelaskannya dalam tiga dimensi pemahaman. Pertama, istilah ini dipakai untuk menunjukkan suatu metode penelitian terhadap proses-proses psikis (misalnya mimpi) yang sebelumnya hampir tidak terjangkau oleh penelitian ilmiah. Kedua, istilah ini juga menunjukkan suatu teknik untuk mengobati gangguan-gangguan psikis yang dialami pasien-pasien neurotis... . Ketiga, istilah ini dapat dipakai dalam arti yang lebih luas, yakni untuk menunjukkan seluruh pengetahuan psikologis yang diperoleh melalui metode dan teknik tersebut (Subono, 2010: 46).
Salah seorang murid Sigmund Freud, yaitu Erich Fromm. Ia menciptakan sebuah teori yang membahas tentang cinta. Fromm, melihat cinta sebagai karakteristik yang unik yang sebenarnya memanusiakan pria dan wanita. Dalam rangka meredakan perasaan keterasingan, manusia mencari kontak dengan dunia di sekitar mereka, dan khususnya dengan individu lain (Friedman dan Schustack, 2008: 145-146).
            
Bagi Fromm, cinta keibuan (Motherly love) sepenuhnya bersifat satu sisi dan tidak setara—ibu memberi cinta yang tidak bersyarat, dan tidak meminta balasan apa pun. Dari cinta ini, anak memperoleh rasa stabilitas dan keamanan. Cinta persaudaraan (brotherly love) melibatkan cinta terhadap semua orang—semua jenis manusia. jenis cinta ini menyatukan individu yang terisolasi dengan yang lain. Cinta erotik (erotic love), diarahkan pada individu tunggal; cinta erotik bersifat sementara, keintiman yang hanya bertahan sesaat. Dalam kasus-kasus semacam ini (jika cinta erotik dominan), individu dapat beralih dari kekasih yang satu ke yang lain secara cepat. Orang yang terlibat hanya dalam cinta erotik, tidak mengalami cinta yang sebenarnya namun hanya memuaskan kebutuhan seksualnya, meredakan kecemasan, atau tidak mengontrol ataupun dikontrol. Menurut Fromm, cinta yang matang (mature love) yang sebenarnya menggabungkan elemen-elemen dari cinta persaudaraan dan cinta diri. Seseorang  harus mencintai dirinya sendiri dan memiliki kesetiaan agar dapat menggabungkan cinta persaudaraan sebelum dapat mencintai yang lain secara matang (Friedman dan Schustack, 2008: 146).
Sedangkan Abraham Maslow (1968) mendeskripsikan dua tipe cinta, being in love (disebut juga “B-love”) serta deficiency love (disebut juga “D-love”). D-love bersifat memikirkan diri sendiri dan tergantung, sementara B-love bersifat tidak mementingkan diri sendiri dan peduli terhadap kebutuhan orang lain (Friedman dan Schustack, 2008: 145).
Cinta kepada seseorang selalu diawali dengan ketergila-gilaan. Di mana orang yang jatuh cinta selalu terbayang-bayang akan wajah seseorang yang membuatnya jatuh hati. Di sisi lain, ketergila-gilaan terhadap sesorang selalu berkaitan dengan daya imajinatif. Menurut John Armstrong (2005: 98), bahwa ide tentang tergila-gilaan menunjukan sisi bawah imajinasi kepada kita.
              Pandangan mengenai ketergila-gilaan ini—rangsangan terhadap apa yang kita inginkan dan bukan yang kita butuhkan—menekankan sebuah tesis yang mendalam dan mengganggu tentang bagaimana kadang-kadang cinta berlangsung (Armstrong, 2005: 99).     
            
 Sementara itu, untuk mengkaji cerpen Cinta Tak Ada Mati akan menggunakan Psikologi Karya Sastra. Yaitu suatu metode untuk mengkaji sebuah karya yang lebih meletakan karya sastra sebagai prioritas utama dalam menganalisis. Dengan kata lain, mengkaji karya dengan cara menerapkan teori psikologi pada tokoh dalam karya sastra itu sendiri. Sedangkan menurut Nyoman Kutha Ratna (via Wiyatmi, 2011: 39) dalam buku Psikologi Sastra menyatakan bahwa terdapat dua cara untuk melakukan kajian ini. Pertama, melalui pemahaman teori-teori psikologi, kemudian diadakan analisis terhadap karya sastra. Kedua, dengan terlebih dahulu menentukan sebuah karya sastra sebagai objek penelitian, kemudian ditentukan teori-teori psikologi yang dianggap cocok untuk melakukan analisis.
              Selanjutnya, untuk mendapatkan hasil yang lebih baik, maka analisis diteruskan dengan mencari unsur-unsur psikologis tokoh, membandingkan, dan menghubungkan perilaku tokoh dengan hukum-hukum psikoanalisis.

2.      Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan melalui beberapa langkah. Pertama, menentukan bahan yang akan diteliti, yaitu cerpen “Cinta Tak Ada Mati” karya Eka Kurniawan. Kedua, mencari referensi dari buku-buku lain untuk mengumpulkan bahan-bahan pendukung bagi sumber yang diteliti. Ketiga, melakukan identifikasi terhadap kejiwaan tokoh Mardio dalam cerpen “Cinta Tak Ada Mati.” Identifikasi dilakukan dengan cara mencari persamaan antara kondisi psikologis tokoh Mardio dengan konsep psikoanalisis secara teoritis. Lalu, mencari hubungan yang berkaitan di antara keduanya.

3.      Pembahasan
               Cerpen “Cinta Tak Ada Mati” dimulai dengan peristiwa awal, seorang lelaki tua berumur tujuh puluh empat tahun bernama Mardio, sedang duduk seorang diri di sebuah taman. Mengenang kembali cinta yang bertepuk sebelah tangan kepada seorang perempuan. Ia kesepian dan terasing seorang diri. Duduk dan memakan jagung, sambil menanti malaikat maut mencabut nyawanya.   
               Malam-malam Mardio selalu terganggu oleh batuk, flu, rematik, serta gangguan lainnya. Sampai suatu ketika ia memeriksakan dirinya ke dokter. Namun dokter tidak dapat mengidentifikasi sumber penyakitnya. Ia pun pergi ke dokter lain, tidak juga diketahui sumber penyakitnya meskipun telah melalui pemeriksaan radiologi. Pada akhirnya ia disarankan agar pergi menemui psikolog. Dari seorang psikologlah diketahui bahwa penyakit yang telah lama dideritanya itu tidak akan sembuh jika Mardio tidak melupakan seorang perempuan yang dicintainya.

               “Lupakan perempuan itu,” kata sang psikolog, “dan mulailah hidup baru.”
               (Kurniawan, 2005:3).

Begitulah saran sang psikolog. Mardio pun merasa tak mungkin melupakannya. Telah ia cintai perempuan itu selama enam puluh tahun, meski Mardio tidak dicintai oleh perempuan itu. 
               Mardio mengikuti saran sang psikolog setelah melalui beberapa perenungan. Ia mencoba melihat kecantikan perempuan lain, mencoba melihat kecantikan yang berbeda-beda. Namun kecantikan seorang gadis yang dilihatnya di dekat kotak telepon umum, selalu mengingatkan Mardio kepada perempuan yang dicintainya, yang bernama Melatie. Dari sini, diketahui bahwa Mardio mengidap apa yang dalam istilah psikoanalisis disebut sebagai neurosis. Ia telah menekan keinginan-keinginannya untuk bisa mencintai dan hidup bersama Melatie. Dengan kata lain, ia telah mengubur hasratnya dalam-dalam ke alam bawah sadarnya. Tetapi muncul lagi di saat dia menjalankan anjuran sang psikolog untuk melupakannya. Pada saat itulah terjadi sesuatu yang menyebabkan adanya konflik di antara ‘alam sadar’ dan ‘bawah sadar’ Mardio. Yaitu ingatannya terhadap Melatie.
               Melatie telah menikah dengan seorang dokter. Penderitaan Mardio selama berpuluh-puluh tahun sebab cintanya bertepuk sebelah tangan, tidak tersembuhkan, kecuali dengan cara menikahi Melatie. Pernah pada suatu ketika, pada kesempatan-kesempatan tertentu ia menemui Melatie dan semakin fasih mengungkapkan perasaannya. Bahwa ia mencintainya. Dan Melatie selalu menolaknya.

           “Paling tidak, berselingkuhlah denganku,” katanya suatu ketika memerosotkan dirinya sendiri dalam degradasi moral tanpa ampun.
(Kurniawan, 2005:24).
              Dari uraian dan kutipan dialog di atas, dapat diketahui bahwa jelas sekali apa yang dikatakan oleh Mardio itu sangat berbenturan dengan hati nurani atau superegonya sendiri. Dan pikiran Mardio sebenarnya telah memberi sensor kepada perilakunya yang bertentangan dengan hati nurani. Maka terjadilah penekanan yang besar itu ke alam bawah sadarnya.

          “Jika ada alasan untuk berselingkuh denganmu,” kata Melatie, “kita punya alasan yang sama untuk kawin sejak dulu.”
                         “Kenapa kau tak pernah bisa mencintaiku?”
                         “Katakan dulu, mengapa kau mencintaiku?”
          Ia tak pernah bisa menjawab pertanyaan itu. Cintanya buta, dan tanpa alasan apa pun.
(Kurniawan, 2005:24)

Begitulah ia mengungkapkan cintanya berulang-ulang dan menghadapi penolakan yang terus-menerus sama.
               Sebenarnya kejadian yang sama juga pernah terjadi di masa remajanya, saat pertama kali bertemu Melatie. Ia sudah jatuh cinta, dan tergila-gila kepadanya. Ia kirimkan puisi-puisi cintanya kepada Melatie, namun tidak digubris. Ia kirimkan lagi surat dan menyatakan secara terang-terangan bahwa ia mencintainya. Melatie tahu lelaki itu tak akan menyerah oleh apa pun. Tak mampu dihentikan oleh apa pun. Kecuali oleh cinta Melatie. Jelas sekali cerpen ini bertemakan tentang cinta dan ketergila-gilaan terhadap seorang perempuan. Seperti yang telah diketahui oleh umum, bahwa ketergila-gilaan selalu berkaitan erat dengan imajinasi, terbayang-bayang. Ini terjadi di saat Mardio tidak bisa melupakan Melatie.
               Berdasarkan analisis yang telah dilakukan terhadap tokoh Mardio yang mengalami ketergila-gilaan terhadap seorang perempuan bernama Melatie sejak pandangan pertama—bahkan sejak kecil. Mardio tetap mempertahankan ketergila-gilaannya terhadap Melatie, tetap mencintainya selama enam puluh tahun, bahkan sampai umurnya menginjak angka tujuh puluh empat tahun. Dengan kata lain, Mardio mencintai Melatie sampai nenek-nenek, sampai beranak cucu. Tidak peduli rasa sakit hati yang diderita dan kesepian yang dialami olehnya.
                Tapi jika dilihat secara terperinci, bahwa cinta Mardio kepada Melatie, itu termasuk ke dalam apa yang disebut oleh Fromm sebagai cinta keibuan (motherly love) dan cinta erotik (erotic love). Meskipun Mardio seorang laki-laki dan tentu saja bukan seorang ibu, tapi jenis cintanya itu termasuk ke dalam jenis cinta keibuan. Sebab Mardio memberi cinta yang tidak bersyarat apa pun kepada Melatie, tanpa henti mencintai meski pun cintanya bertepuk sebelah tangan. Ia rela menghadapi rasa sakit yang berkepanjangan. Di saat Melatie menikah dengan seorang dokter, perkawinan Melatie yang bahagia. Penderitaan Mardio yang tidak usai sampai ia tua. Dan cintanya hanya mengarah kepada satu orang perempuan saja. Hanya kepada Melatie seorang. Tidak kepada perempuan lain, meskipun ada ketertarikan Mardio kepada perempuan lain saat duduk di taman, dan saat menatap seorang perempuan di dekat kotak telepon umum. Tapi itu cuma sebagai proses penyembuhan dan saran sang psikolog atas penderitaannya karna tetap tidak bisa melupakan Melatie.
               Cinta Mardio adalah cinta yang keras kepala. Cinta yang egois dan buta. Ia tidak mempedulikan keadaan dirinya sendiri. Ia tidak mampu mencintai dirinya sendiri (bukan narsistik) sebagai tahap permulaan sebelum mencintai orang lain, yang akan membentuk cinta yang matang (mature love). Tetapi cintanya tidak akan pernah terbentuk menjadi cinta yang matang sebab Melatie telah menikah dan tidak mencintainya. Tidak akan ada keseimbangan yang dinamis antara manusia yang mencintai dan yang tidak mencintai.
               Mardio mencintai seorang perempuan dengan keras kepala dan tanpa alasan, itu ditegaskan olehnya sendiri, di saat Melatie bertanya kenapa ia mencintainya, tapi Mardio tidak mampu menjawab pertanyaan itu. Tidak pernah bisa menjawab pertanyaan yang sederhana itu. Yang ia tahu bahwa dirinya mencintai Melatie sampai kapan pun. Cinta yang egois dan tidak memikirkan hal-hal lainnya yang menjadi penunjang untuk kelanjutan hidupnya itu (seandainya ia hidup bersama Melatie). Ia hanya bisa memikirkan dirinya sendiri, dan terus mencintai Melatie. Cinta Mardio hanya bisa bergantung kepada Melatie. Itu terjadi di saat Melatie yang sudah menjadi nenek meninggal dunia. Ia hancur, dan meratapi kematian kekasihnya di samping kubur.
          Dalam tiga hari terakhir ia tak lagi menghabiskan waktu siangnya di taman, tapi di pemakaman. Duduk di bangku tak jauh dari kuburan perempuan yang telah dicintainya selama enam puluh tahun. (Kurniawan, 2005:31).

Inilah apa yang dipandang oleh Maslow sebagai deficiency love. Bahwa Mardio tetap tidak peduli dan bersikap egois dalam mencintai Melatie, meskipun telah menikah, beranak, dan bercucu.
               Adapun Eros atau dorongan hidup dalam diri Mardio, telah terpaparkan dengan jelas dalam deskripsi berikut ini:
                        
            Ia bertekad untuk untuk memperoleh cinta Melatie, setelah itu ia akan tenang menghadapi kematian.
(Hal. 23)
              Maka jelaslah, bahwa tekad dan cinta dalam dirinyalah yang membuatnya untuk tetap terus melanjutkan hidup. Ia tidak memperdulikan resiko apa pun yang akan dialaminya—penderitaan dan rasa sakitnya. Sebab tekad dan cintanya kepada Melatie-lah yang membentuknya seperti itu. Juga tertera dalam kutipan-kutipan cerpen berikut ini:
            Lelaki itu menggeleng sedih. “Apa pun yang terjadi, aku tetap mencintaimu,” katanya penuh kepastian, “dan percayalah aku akan menunggumu.”
(Kurniawan, 2005:20-21)
            Tidak, justru karna itu ia tak ingin mati. Ingatannya kembali kepada perempuan tua bernama Melatie ... (Kurniawan, 2005:22)
              Sedangkan, di sisi lain dalam diri Mardio juga terdapat naluri kematian atau Thanatos. Dari sini dapat diketahui bahwa kedua naluri tersebut dalam dirinya selalu bercampur aduk. Ada peperangan batin dalam dirinya yang tak bisa terhentikan lagi. Naluri itu tercermin secara jelas sekali di saat-saat sebelum Melatie mati tertimpa baliho berukuran besar yang ambruk.
            Namun tiba-tiba ia terjerembab dalam keputusasaan yang sama.  “Masalahnya,” ia berkata kepada diri sendiri, “Gadis mana yang akan kuajak kencan.” (Kurniawan, 2005:22).

              Dengan kata lain, salah satu ciri Thanatos adalah rasa putusasa yang dialami Mardio. Putusasa adalah pemantik awal bagi naluri kematian dalam diri manusia. Ada kecenderungan untuk mati dalam batin Margio. Sebelum seseorang mati (membunuh dirinya sendiri), pastilah ada sesuatu yang telah mati dalam dirinya, yakni matinya Eros dalam diri Mardio. Dan berikut ini yang terus terlintas dalam kepalanya:
              Dan ia juga bertanya-tanya kapan ia sendiri akan mati.
              (Kurniawan, 2005:23).         
          Sejak Melatie mati, ia tak tahu dengan cara apa ia memboroskan umurnya. Ia pikir bisa menghibur diri dengan duduk seharian di kursi peziarah, memandangi kuburannya, tapi setelah tiga hari ia mulai menyadari kesia-siannya. Sebuah moncong di langit memberitahunya untuk bunuh diri.
  (Kurniawan, 2005:39-40).
             
              Setelah peristiwa di kuburan itu, sang dokter (suami Melatie) melihat wajah Margio dan menemuinya. Pada saat itu sebenarnya Margio sangat membenci dan ingin membunuhnya. Ia telah menyembunyikan pisau di balik punggungnya. Tetapi yang dilakukan Mardio adalah mengajak sang dokter minum teh di rumahnya. Di sinilah kemudian terjadi penyimpangan seksual antara Mardio dan sang dokter yang di luar dugaan ternyata Mardio tidak membencinya, malah bersahabat dengannya. Dan saling berbagi kesedihan dan cinta mereka. Sebab tekadnya belum terpenuhi, yaitu mendapatkan cinta Melatie. Saat sang dokter tidur di kamar yang sebenarnya diperuntukkan buat Melatie, dengan wajah sedih dan bercucuran air mata, Mardio berkata;
          “Paling tidak izinkanlah aku memperoleh yang tersisa dari perempuan      itu.”
(Kurniawan, 2005:40-45).

              Itulah yang dilakukan Mardio, mencium bibir sang dokter demi mendapatkan sisa-sisa Melatie yang melekat dalam tubuh sang dokter. Hasrat dan keinginannya yang terpendam sudah begitu lama untuk mendaptkan Melatie akan segera tumpah. Pada saat itulah Margio melakukan sesuatu yang bersifat amoral.
                Dari uraian ini dapat disederhanakan bahwa cinta memiliki hal-hal lain yang mesti dipertimbangkan, dan cinta yang dipaksakan tidak selalu baik. Juga sebenarnya terdapat bermacam jenis cinta dalam hidup ini yang mesti diterima dengan tangan terbuka dan tidak harus melanggar moralitas. Seperti bagi Mardio, bahwa cinta terhadap seseorang sangat berpangaruh bagi dirinya dan kondisi psikisnya.

C.  PENUTUP           
1.      Kesimpulan
Cerpen “Cinta Tak Ada Mati” merupakan refleksi mendalam bagi manusia modern. Di mana cinta telah menjadi pengaruh yang dominan bagi setiap manusia. di cerpen ini, cinta telah mengalahkan rasio dan menghancurkan norma-norma kemanusiaan yang disebut moral. Cinta memiliki dampak positif, dan tentu saja dampak negatif  bagi siapa pun. Karna itulah diperlukan pertimbangan yang sangat matang dalam mencintai seseorang.  


Daftar Pustaka

Armstrong, John. 2005. Kata Cinta. Diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia oleh Heri Bernung. Jakarta: Fresh Book.
Berry, Ruth. 2001. Freud: Seri Siapa Dia. Diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia oleh Frans Kowa. Jakarta: Erlangga
Freud, Sigmund. Psikoanalisis Sigmund Freud. Diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia oleh Ira Puspitorini. Yogyakarta: Ikon.
Friedman, Howard S. dan Miriam W. Schustack. 2006. Kepribadian; Teori Klasik dan  Riset Modern. Diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia oleh Benedictine Widyasinta. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Fromm, Erich. 1988. Manusia Bagi Dirinya; Suatu Telaah Psikologis-Filosofis Tentang Tingkah Laku Manusia Modern. Diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia oleh Eno Syafrudien. Jakarta: Akademika.
Kurniawan, Eka. 2005. Cinta Tak Ada Mati. Jakarta: Gramedia Pustaka.
Subono, Nur Iman. 2010. Erich From; Psikologi Sosial Materialis yang Humanis. Depok: Kepik Ungu.

1 komentar:

Posting Komentar