Selasa, 14 Februari 2012

Di Kaki Gunung Merapi



Aku pernah mengenalnya. Dulu, ketika tubuh ini masih berangkat remaja. Pribadinya berwibawa seperti ayahku. Tubuhnya kekar seperti Superman, meskipun kulitnya hitam. Di antara teriakan-teriakan mulut, teriakannyalah yang paling aku dengar. Di antara tinggi-tingginya manusia yang ada di situ, kepalanyalah yang paling terlihat.
Waktu itu aku sedang berlari-lari, membawa kotak P3K yang baru saja aku ambil dari markas. Aku diburu oleh raungan minta pertolongan yang belum aku tahu bagian mana letak tendanya. Dikegelapan malam, “Bukk!!” aku terjatuh tersandung akar-akar yang menonjol di tanah. Ya, tempat itu memang sangat natural. Sangat berbahaya tapi menjamin keamanan jika bersembunyi.
Aku berusaha bangun dari jatuhku dan memunguti obat-obatan yang berserakan. Aku kembali berlari meskipun kakiku juga luka. Orang di tenda itu lebih membutuhkanku daripada aku sendiri yang sedang terluka. Ketika aku datang, semuanya ribut.
“Mana, mana obatnya?”
Itulah yang mereka tanya ketika aku sampai di tenda. Aku memberikan kotak obatnya kepada seorang perempuan. Seorang laki-laki memangku kepala perempuan yang kesakitan. Kuraba pergelangan tangannya.
“Apakah dia pernah seperti ini sebelumnya?”
“Iya, Kak. Dulu di kelas dia juga pernah seperti itu setelah selesai bermain basket, kemudian dia pingsan.”
“Jantungku lemah, Kak.”

Hatiku sangat kaget mendengar pengakuannya. Kepalaku menjadi pusing dan sempat tidak dapat berpikir. Aku tanyakan apakah dia membawa obat, katanya tidak. Suara orang berlari menuju tenda.
“Ada apa?”
Suara itu, suara yang sangat aku kenal. Derap sepatunya, selalu aku lebih dulu mengenalinya sebelum dia datang. “Lemah jantung!” Jawabku singkat. Aku kembali tersadar dari lamunanku. Kak Panji, begitu kami memanggilnya, menyuruh untuk memberikan ruang gerak pada pasien itu. Aku  meminta beberapa orang untuk mengangkatnya ke luar tenda. Hawa di tenda sangat panas meskipun di malam hari. Mungkin terlalu banyak orang di dalamnya.
“Dia membutuhkan ruang gerak. Jangan mengerubungi!” kataku kepada teman-teman perempuannya yang ingin melihat keadaan Ulya.
Mereka menjauh dan kembali ke dalam tenda. Aku mengambilkan selimut untuk Ulya. Tapi dia menolaknya. Panas, katanya. Padahal, aku yang berlarian dan Kak Panji yang dari tadi selalu disibukkan dengan rentetan aktivitas saja merasa dingin di kaki Gunung Merapi ini. Setelah nada pernafasan Ulya agak memulih, aku mengecek teman-teman setendanya. Semua tidur dengan nyenyak.
Aku, Kak Panji dan beberapa teman P3K menemani Ulya yang tidak ingin masuk ke dalam tenda. Kami semua memakluminya. Dalam hati aku tidak menyangka bahwa Ulya lemah jantung. Badannya tidak kurus, justru agak gemuk. Tadi siang dia juga aktif bersama teman-teman pramuka lainnya. Tapi keadaan sangat cepat berganti. Aku sangat khawatir. Bagaimana cara kami mempertanggungjawabkan kepada orangtuanya jika Ulya meninggal saat di bumi perkemahan ini?
“Istirahatlah jika kamu capai, dari kemarin pagi kamu sama sekali tidak istirahat karena banyak adik kelasmu yang sakit. Bahkan mungkin kamu belum makan sejak pagi tadi. Kamu ketua P3K, jangan sampai jatuh sakit. Masa ketua kesehatan malah sakit? Kan nggak lucu,”
Kata Kak Panji mengajak bercanda. Aku tersenyum. Sudah beberapa hari panitia melakukan persiapan untuk berkemah, tapi baru kali ini kru P3K berkumpul dan mengobrol dengan kakak kelas yang sebenarnya sudah lulus. Suatu kesenangan tersendiri ketika kita mengenal orang yang lebih berpengalaman dari kita, karena bisa banyak belajar darinya.
“Iya Kak. Santai saja. Aku kan ketua P3K, tidak akan sakit deh. Kalaupun aku sakit, yang perlu bertanggungjawab Kak Panji. Semalam aku tidak bisa tidur karena keusilan Kak Panji!”
Dia hanya tersenyum mengejek. Jam dua belas sudah lewat sejak beberapa menit yang lalu. Hawa dingin mulai menusuk sumsum tulang. Ulya terlihat dapat tidur dengan pulas meskipun di alam terbuka. Aku meletakkan telunjukku di bawah hidung Ulya.
“Tenang saja, dia belum mati, Di.”
Aku merasa malu. Ternyata Kak Panji tahu apa yang aku lakukan.
“Tidurlah. Nanti masih banyak rentetan acara. Jangan sampai badanmu ambruk karena lelah.”
Katanya sambil mengobrak-abrik rambutku yang sebenarnya tertutup jumper. Tingkah lakunya, menunjukkan sebuah perhatian kakak kepada adiknya. Tapi mengapa hanya kepadaku dia menawarkan? Padahal di sini ada teman-teman lain yang juga butuh istirahat.
“Tidurlah di pahaku sini jika kamu malas ke markas.”
Ah, aku semakin heran di sampingnya. Aku merasa terlindungi, sekaligus merasa terdiskriminasi tetapi mengenakkan. Markas adalah tempat P3K sekaligus tempat transit kakak kelas dan alumni yang dengan sukarela ingin membantu acara perkemahan ini. Sebenarnya, sebagai ketua kesehatan, aku harus selalu di markas dan membiarkan akan buahku berpencar di setiap pos yang sudah ditentukan. Tapi sayangnya semua tidak seperti yang aku inginkan. Beberapa dari mereka justru ke front office, tempat transit para tamu dan para guru. Aku dibuat lelah karena harus ke sana dan kemari.
“Katanya tadi pagi Kak Panji pulang ya? Tapi kok aku melihat laki-laki tidur dan menutup mukanya dengan sarung? Sarungnya yang sekarang Kak Panji kalungkan di leher itu.” Kataku mununjuk balutan yang tergantung di leher untuk membuka percakapan agar suasana tidak kaku.
“Iya, tadi pagi sekali aku pulang. Saat anak-anak sedang senam pagi. Yang tidur tadi mungkin Anfi.”
Sebenarnya aku sudah tahu kalau yang tidur di markas tadi Mas Anfi, adik kelas Kak Aji. aku hanya ingin banyak mengobrol dengan orang ini. Karena di awal kedatangannya, dia sangat usil. Malam pertama di bumi perkemahan, aku dibuatnya tidak bisa tidur. Setiap akan tidur, dia duduk di dekatku dan merokok. Setiap aku pindah, dia mendekatiku dan menarik selimutku. Akhirnya aku memutuskan untuk tidak tidur dan menghabiskan malam untuk mengobrol dengannya. Mungkin itu yang dia mau. Sebenarnya, malam itu aku tidak hanya mengobrol dengannya, juga dengan kakak angkatan-kakak angkatan yang lain. Kebanyakan dari mereka adalah laki-laki, tapi ada dua perempuan yang ikut. Katanya, pacar salah satu kakak angkatan. Tapi aku tidak mengenalnya. Meskipun tidak saling mengenal nama, aku dan mereka saling mengobrol seolah ini merupakan malam reuni.
“Sudah jauh-jauh ke kaki gunung saat malam, kok pagi-pagi sudah pulang lagi. Sekarang juga sudah di sini lagi?”
“Iya. Memang begitu kebiasaan kakak angkatan yang sudah lulus. Mereka datang malam hari karena tingkat kebahayaan tiga kali lipat dibandingkan ketika siang hari. Saat malam, mungkin adik kelasmu yang nakal akan menyelundupkan orang luar masuk ke lingkungan ini dan minum minuman keras. Sebagian dari mereka juga mungkin mencuri barang-barang teman-temannya sendiri. Yang lebih gawat lagi, pemabuk tadi menyeret perempuan dan memperkosanya. Kami semua berpengalaman dalam hal itu. Dulu, ada kakak kelas perempuanmu yang tidur bareng di sekitar area perkemahan. Keduanya mabuk. Aku yang menggrebeknya. Mereka aku bawa ke front office setelah aku temukan dalam keadaan masih teler dan sama-sama telanjang. Karena dibuat jengkel, aku menonjok muka laki-laki itu. Hal yang seperti itu tentu sangat membahayakan. Apalagi ini bukan wilayah kita. Di sini banyak tempat-tempat wingit dan dianggap keramat oleh banyak orang. Takutnya, semua yang ada di sini bisa mendapat celaka karena ulah segelintir orang.”
Aku mendengarkan semua perkataan itu. Bulu kudukku menjadi merinding saat mendengarnya.
“Hal seperti itu sudah dua kali terjadi. Dan jika perempuan itu hamil, tentu sekolah memiliki kebijakan untuk mengeluarkan siswi tersebut karena mengancam image sekolah kita. Makanya, meskipun di sini kamu sebagai kakak kelas, kamu harus tetap waspada dan jangan sampai celaka sendiri.”
Ternyata Kak Panji sangat baik. Aku kira dia hanya bisa mengusili aku setiap ada waktu luang.
“Tadi kamu jatuh kan waktu mau ke tenda?”
Aku melirik ke arahnya. “Ha?” Kataku pura-pura kaget.
“Haha... kebetulan tadi aku sedang duduk di sekitar situ. Aku ada di belakangmu. Aku sengaja diam dan tidak menolong biar kamu tidak malu. Sekarang kamu malu kan? Ha? Haha...”
Aku memukul bahunya. Mukaku pasti merah, untung saja tempatnya gelap. Aku aman dari serangan selanjutnya. Baru saja aku memujinya, ternyata di mulai mengusili aku lagi.
“Apanya yang sakit? Coba aku lihat. Kalau posisi jatuhmu tertelungkup kayak kodok gitu, biasanya yang sakit siku sama lututnya.”
Aku segera menyembunyikan siku dan lututku.
“Ah, nggak kok! Nggak ada yang terluka Kak! Usil!” kataku pura-pura jutek.
“Mas, kita beroperasi yuk. Sudah jam dua ini. Pacaran terus!”
“Ha? Mas Anfi! Siapa juga yang pacaran? Mana mau aku sama Kak Panji! Emoh!”
Satu orang lagi yang usil. Mas Anfi. Sikapnya tidak beda jauh dengan Kak Panji. Tapi tubuhnya tambun, tidak seperti Kak Panji yang berpostur bagus. Mukanya juga lucu, tidak seperti muka Kak Panji yang memiliki garis kegalakan, atau kewibawaan? Tapi ternyata keduanya sama-sama ramah dan usil.
“Hemh! Iya-iya! Ayo!”
Kata Kak Panji sambil berjungkit. Sarung yang tadi dikalungkan di lehernya dilemparkan ke mukaku!
“Kamu harus tetap di sini, anak ini tanggungjawabmu sebagai ketua bagian kesehatan. Pakai sarungnya, semakin menjelang dini akan semakin dingin!”
Katanya sambil berjalan menjauh. Aku menuruti perkatannya. Aku membuka sarung itu dan memasukkan tubuhku ke dalamnya. Dari tempat dudukku, aku melihat sorot lampu yang sesekali menerawang ke pohon-pohon atau ke tempat-tempat yang rungkut. Dari situ aku mengetahui keberadaan mereka bertiga−Kak Panji, Mas Anfi, dan Mas Bimo, ketiganya adalah kakak alumni.
Malam menjadi sepi, lama, dan dingin tanpa obrolan. Sekali lagi aku melihat keadaan Ulya yang masih tertidur dengan pulas. Aku sangat bersyukur  karena malam ini tidak ada insiden yang cukup berarti. Aku melihat jam, sudah jam tiga pagi. Jam empat nanti, aktivitas akan dimulai lagi. Hatiku khawatir karena tidak ada lagi sorot lampu yang terlihat. Juga tidak terdengar suara bercandaan dari mereka bertiga. Aku takut terjadi sesuatu. Sedangkan sekarang aku sedang sendiri. Teman-teman yang lain sudah pindah ke markas maupun ke front office karena tidak tahan dengan dingin yang kini semakin menusuk jantung. Aku semakin khawatir dengan keberadaan Ulya. Aku takut jantungnya tiba-tiba membeku. Frekuensiku mengecek nafasnya semakin bertambah. Aku juga mengambilkan selimut di dalam tenda untuk Ulya lagi, kemudian aku selimutkan.
Seakan sudah tidak tahan lagi bermalam di tempat ini. Sudah lama aku tidak mengikuti pelatihan di PMI tingkat kabupaten. Fisikku menjadi kurang kuat karenanya. Aku rapatkan dudukku dan semakin aku dekap balutan sarung yang mengumpul di tangan.
Akhirnya keramaian muncul. Aktivitas di bumi perkemahan mulai dijalankan. Ulya aku ajak untuk istirahat di markas. Aku tidak mungkin membiarkannya mengikuti aktivitas setelah semalaman dia membuat khawatir semua orang. Ulya mengiyakan. Aku membantunya untuk berdiri dan menuntunnya naik ke markas.
Sampai di markas, aku menemukan tiga lelaki yang sejak semalam aku khawatirkan pula keberadaannya. Ternyata mereka menghabiskan dini hari dengan tidur di teras markas setelah selesai beroperasi. Aku tersenyum melihat kegilaan tingkah mereka. Tidurnya sangat tidak beraturan, saling tumpuk dan saling injak. Ulya juga ikut tersenyum melihat pemandangan itu.
Aku mengembalikan sarung Kak Panji dengan menyelimutkan di tubuhnya. Ulya masuk ke kamar pasien dan aku menyusulnya. Aku sangat kelelahan dan tidur pulas setelahnya.
Ketika aku bangun, Ulya sudah tidak ada di sampingku. Aku menengok jam dan ternyata sudah jam sembilan. Kelelahan semalam sudah terbayarkan setelah tidur empat jam tanpa ada satu orangpun yang membangunkan. Tapi, bagaimana bisa sarung itu kembali kepadaku? Sedangkan dini hari tadi sudah aku kembalikan ke Kak Panji.
“Sudah, tidak usah heran, aku yang menyelimutkannya waktu kamu tidur tadi Di! Terima kasih ya!” Kata Mas Anfi.
Aku tersenyum dan berterimakasih dengan embel-embel, “Tumben baik hati,”
“Aku memang selalu baik. Kamu saja yang tidak tahu! Sudah, sarapan dulu Di. Aku ambilkan nasi goreng di dapur tadi. Makanlah.”
“Untung tadi Anfi mengambilkannya. Kalau tidak, pagi ini kamu tidak akan sarapan karena di dapur umum sudah tidak ada apa-apa lagi. Anfi perhatian kan sama kamu,” Kata Mas Bimo menambahkan.
Aku tersenyum dan merasa geli. Ternyata orang-orang yang aku kenal memiliki kepribadian lain setelah beberapa waktu tinggal bersama. Setelah membersihkan muka, aku makan nasi goreng yang sudah diletakkan di meja luar. Sebelum aku selesai makan, Mas Anfi datang dengna membawakan sebotol minuman.
“Katanya habis,” tanyaku dengan heran.
“Ambil di warung barusan,”
“Ha? Nyuri ya?” tanyaku usil, “Berapa harganya?”
“Aku beli buat kamu, Dian... Kamu mau dehidrasi gara-gara habis makan tapi tidak minum?”
“Hehehe, sok baik!” Godaku untuk kembali membuatnya usil. Rasanya aneh jika baru semalam tadi dia masih usil, tetapi sekarang sudah berubah seperti malaikat. Harga minuman di tempat seperti ini kan bisa tiga kali lipat dari harga standar. Aku tidak mau jika karena hal seperti ini akan menjadi kesenjangan di antara teman-teman yang lain.
“Kak Panji mana?”
“Sudah pulang. Dia hanya sampai hari ini karena harus bekerja,” Jelas Mas Anfi sambil duduk di sampingku.
Seperti ada kekecewaan di dalam hati. Seperti ada yang hilang. Aku masih ingin bersama-sama dulu, bercanda di antara kesibukan aktivitas ini. Sayang sekali kalau Kak Panji pulang lebih dulu. Karena aku berkeyakinan setelah di tempat ini aku tidak akan pernah bertemu dengan Kak Panji. Kalaupun bertemu, belum tentu dia masih mengenalku. Aku membuka tutup botol dan meminumnya untuk menghilangkan serak.
“Eh, sarung Kak Panji? Astaga...bagaimana Mas?”
“Buruan makannya. Setelah ini kita akan berpetualang kan. Nanti kita boncengan pakai motor saja agar kamu mudah membawa kotak P3K-nya.”
Aku tersenyum, tidak enak untuk menolak kebaikan orang lain. Sedangkan pertanyaanku sendiri mengambang tanpa ada jawaban dari siapapun. Setelah selesai makan, aku membuang bungkus nasi, kemudian menyiapkan tiga kotak P3K untuk dibawa. Mas Anfi masih saja duduk di teras menunggui aku, seperti takut kalau aku akan membonceng orang lain. Tapi mungkin itu hanya perasaanku saja.
Ini adalah hari terakhir kami di bumi perkemahan. Tidak ada kejadian yang cukup berarti setelah kepergian Kak Panji. Seakan dia meletakkan jimat di semua tempat sehingga semua terasa aman dan lancar. Meskipun saat kegiatan petualangan tadi aku dan Mas Anfi sempat kehujanan. Padahal sudah berteduh cukup lama di garasi sebuah rumah yang memiliki anjing. Jika tidak karena hujan, aku tidak mungkin mau masuk ke pekarangan itu. Tapi Mas Anfi meyakinkan kalau anjing itu tidak akan melukai. Satu jam aku berteduh hanya berdua dengan Mas Anfi. Sebenarnya tadi kami melihat Mas Bimo membonceng dengan peserta yang sakit, tapi mereka memilih berhujan-hujanan daripada menunggu lama. Dan sepertinya mereka tidak melihat keberadaan kami. Karena terlalu lama berteduh, aku mengajak Mas Anfi untuk kembali ke bumi perkemahan. Takut teman yang lain akan mencari.
Sampai di bumi perkemahan, muncullah gosip bahwa aku dan Mas Anfi berpacaran. Teman-teman menyoraki Mas Anfi, dan dibelakangnya, mereka mencela aku. Aku sedih karena kejadian ini. Benar apa dugaanku. Pembedaan tingkah laku dua laki-laki itu membuat kecemburuan teman-temanku yang lain.
Saat persiapan akan pulang, aku kembali menanyakan akan dikemanakan sarung Kak Panji. Kemudian Mas Rus bilang biar dia saja yang membawanya. Karena mereka sama-sama aktif dalam persatuan alumni di SMA-ku. Aku lega karena tidak harus membawa sarung itu. Karena jika aku membawa pulang, tentu akan membuat berita yang beredar akan lebih heboh lagi. Di sela kesibukanku yang sedang mengemasi barang, Mas Anfi meminta nomor HP-ku. Aku memberikannya, sebagai tanda keakrabaan antara kakak alumni dan generasi penerusnya.
Tidak ada yang tahu bahwa beberapa bulan setelah perkemahan itu secara intensif Mas Anfi selalu menghubungiku melalui sms dan kadang-kadang telepon. Aku juga tidak mengatakan kepada sahabat dekatku karena takut berita yang beredar justru berkebalikan sehingga membahayakan posisiku sebagai orang yang cukup di kenal di sekolah.
Tapi semuanya tidak berjalan lama. Satu tahun setelah perkenalanku dengan Mas Anfi, kelasku dihebohkan dengan berita kematian alumni sekolahku. Lukmana Budiantafi. Semua bertanya-tanya yang manakah orang yang meninggal itu. Tetapi tidak ada yang tahu. Nama itu sangat asing di telinga kami. Padahal katanya dia sering bermain di sekolah untuk mengunjungi guru-guru dan nongkrong di kantin. Sahabatku juga sempat menanayakan kepadaku dengan menunjukkan sms berita kematian yang ada di hp-nya. Aku bilang tidak mengenal nama itu. Sahabatku bilang, “Di, itu bukan Mas Anfi kan?”
Aku tidak tahu, jawabku.
“Siapa nama panjang Mas Anfi? Dulu waktu di perkemahan kan kamu yang akrab dengannya?”
“Aku tidak tahu,” Jawabku dengan muka yang mulai memerah.
Diam-diam, aku segera mencoba untuk menghubungi semua nomor HP Mas Anfi yang diberikan kepadaku. Semuanya aktif, tetapi tidak ada satu nomorpun yang merespon. Aku mulai khawatir. Dan tangisku meledak di dalam kelas ketika mendengar kabar bahwa yang meninggal itu benar-benar Mas Anfi.
Aku diijinkan untuk keluar dari kelas saat pelajaran sedang berlangsung. Dipelukan sahabatku, aku menangis dan menceritakan semuanya. Aku benar-benar kecewa karena Mas Anfi meninggal, karena saat itu posisiku sedang marah dengannya, meskipun dia tidak tahu kalau aku marah. Dia juga tidak tahu nomor HP-ku yang baru karena aku belum memberi tahunya. Aku sudah berjanji akan memberi tahu nomorku yang baru setelah aku tidak sibuk untuk persiapan Ujian Nasional, padahal aku sengaja belum memberi tahunya karena aku masih marah. Aku marah dengannya karena dia bilang suka dan ingin jadi pacarku. Aku ceritakan semua kepada sahabatku. Aku ceritakan semuanya di antara tangis duka, luka, dan kekecewaanku.
Sepulang sekolah, aku takziyah ke rumahnya. Sebelum itu, aku menghubungi Mas Bimo untuk menjemputku karena aku tidak tahu di mana rumahnya. Aku berusaha untuk tidak menangis saat sampai di sana. Ada sedikit hiburan karena di sana juga ada teman sekolah yang lain yang juga ikut takziyah. Tapi dari kelasku sendiri, hanya aku yang datang karena hanya aku yang akrab dengannya. Tidak ada orang yang tahu kalau aku dan Mas Anfi sangat akrab. Aku tahu semua tentang kehidupan Mas Anfi karena dia menceritakannya kepadaku. Aku tahu semua masalah-masalah dalam hidupnya yang tidak pernah diketahui keluarga dan orang lain. Hanya aku dan Mas Bimo yang tahu, karena dia sahabatnya. Aku menjadi sangat tahu dan paham setelah kunjungan ke rumahnya ini.
Saat aku duduk dan masih bercakap-cakap, ada perempuan berjilbab hitam yang melintas. Wajah perempuan itu sangat sendu dan pucat. Badannya kecil. Bentuk mukanya seperti foto yang pernah ditunjukkan Mas Anfi saat di bumi perkemahan yang dia bilang adalah mantan pacarnya, namun setelah putus masih tetap berkomunikasi. Tadinya aku ingin menanyakan kepada Mas Bimo siapa perempuan berwajah sendu itu, tapi aku merasa enggan karena tidak yakin dia mengenal perempuan itu.
Aku semakin terluka saat Mas Bimo mengatakan bahwa Mas Anfi suka denganku. Mas Bimo juga tahu kalau aku dan sahabat yang meninggal itu selalu berhubungan. Tapi Mas Bimo tidak tahu kalau Mas Anfi sudah mengatakan isi hatinya itu kepadaku. Tapi Mas Bimo tidak tahu kalau sahabatnya itu sudah terluka karena perempuan mantan pacarnya. Hanya aku yang tahu tentang hubungan mereka, tetangga yang saling jatuh cinta, tapi sang perempuan meninggalkan Mas Anfi karena Mas Anfi dianggap tidak bisa mencukupi kehidupan rumah tangganya jika kelak menikah.
Sampai di rumah, aku kembali menangis dan berkabung. Meskipun aku tidak menunjukkannya secara berlebihan rasa dukaku. Aku ceritakan kepada ibu bahwa yang meninggal itu adalah kakak kelasku yang dulu saat Idul Fitri pernah datang ke rumah bersama teman-temannya yang lain. Itu memang benar dan aku sama sekali tidak mengada-ada. Ternyata itu menjadi kunjungan pertama dan terakhirnya. Berakhirlah sudah persahabatanku dengan Mas Anfi, dan aku diliputi kesalahan karena belum memenuhi janjiku.
Lima tahun kenangan itu aku pendam. Aku kembali berkonsentrasi pada mobilku. Perjalanan menuju Bogor untuk jambore memang selalu melelahkan. Selalu macet dan selalu banyak kecelakaan. Aku kembali berkonsentrasi pada wajah itu. Wajah yang tiba-tiba datang dan menghilang di bumi perkemahan. Dia ada dalam mobil bersama seorang perempuan yang menggendong bayi. Aku tersenyum saat melihatnya. Ternyata hari itu bukan hari terakhir perjumpaanku dengannya. Apakah Mas Rus sudah mengembalikan sarungnya? Jika belum, sebaiknya aku yang mengembalikan karena aku sama sekali belum mengucapkan rasa terimakasihku atas bantuannya selama di bumi perkemahan.

                                                                                              Dini hari, 12 Januari 2012

0 komentar:

Posting Komentar