Kamis, 24 November 2011

SANG PIANIS

Paris, 17 Desember 2007

PAGI itu, jalanan sepi. Dinding-dinding dan trotoar bisu. Bermacam mobil berjejer di pinggir jalan. Dari kejauhan terlihat seorang perempuan buta mengenakan kacamata hitam, berjalan dengan bantuan tongkat, melewati gang-gang sempit. Tanpa kesulitan menentukan gang mana yang akan dilewati. Lalu melewati beberapa flat yang dihuni orang-orang sibuk yang mengurusi urusannya sendiri-sendiri. Langkahnya serupa kupu-kupu yang perlahan-lahan hinggap di dahan-dahan pohonan atau di tangkai bunga, pelan namun tanpa sedikit pun terlihat ragu-ragu. Perempuan itu terus berjalan dengan tuntunan tongkatnya, melewati pintu dan jendela-jendela kamar yang tertutup. Entah kemana tujuannya, dia sendiri tidak tahu. Di pikirannya ada suatu kehendak untuk berjalan-jalan, seolah ingin merasakan suasana yang berbeda. Maka itulah yang dia lakukan, seperti yang saat ini kita lihat, dia sedang menikmati suasana hatinya, dia sedang memenuhi kehendak pikirannya, dia sedang berjalan-jalan.
            Jika kau memperhatikan wajahnya sedikit lebih lama, mungkin kau juga akan menduga bahwa wajah perempuan buta itu begitu menyerupai Audrey Tautou, di film Le Fabuleux Destine d’Amelie Poulaine, film yang pernah kita tonton berdua di bioskop France 3 Cinema dulu, maka seperti itulah wajahnya.
            Namun Audrey Toutou buta ini terus berjalan melewati daun jendela yang sedikit terbuka, dan langkahnya tiba-tiba terhenti.

DISAAT yang bersamaan, di sebuah kamar,  seorang lelaki dengan wajah tertunduk tengah memainkan Nocturne in C Sharp Minor dengan piano tua menghadap ke arah jendela. Jemarinya begitu lihai menekan tuts-tuts piano, tanpa ada sedikit pun nada yang meleset. Namun siapapun yang mendengar permainan pianonya akan mematung, seolah terbius dengan kesedihan yang tak dapat di uraikan oleh apa pun, kecuali denting piano. Tampaknya, rasa kehilangan yang telah menggunung di dadanya, telah ia lampiaskan ke seluruh jemarinya yang tanpa henti menekan tuts-tuts piano. Yang tanpa henti terus menerus memainkan karya Frederich Chopin itu.


Di depan sebuah jendela yang sedikit terbuka, perempuan buta itu mencoba meraba-raba daun jendela yang terbuat dari kayu. Pelan-pelan tangannya membuka daun jendela, hingga terbukalah jendela itu dengan sempurna. Dia membuka jendela itu bukan karena ingin melihat siapa yang memainkan piano itu sebab dia tidak mampu melihat, melainkan dia hanya ingin mendengarkan lebih dekat dan lebih jelas lagi. Batinnya mampu merasakan bahwa seseorang yang memainkan piano dengan kesedihan yang terus menerus menetes dari jemarinya, sedang menumpahkan segalanya ke atas tuts-tuts piano. Sehingga yang dia dengar di dekat jendela itu adalah nada-nada kesedihan yang berasal dari jurang terdalam kehilangan. Yang dia dengar di dekat jendela itu hanyalah gerimis menetes dari perasaan yang kelam dan berjatuhan menghujani ceruk batinnya. Belum pernah ia mendengar permainan piano semuram ini.
            Perempuan buta tidak mampu melangkah lagi,  suara denting piano telah merantai kakinya. Membuatnya mematung di dekat jendela yang entah kamar siapa. Aku tidak bisa meninggalkan orang yang memainkan piano sesedih ini, batinnya. Bahkan mungkin sampai malam larut pun, dia akan tetap disana mendengarkan suara piano. Bahkan mungkin selama suara piano terus mengalun, selama itu pula dia tidak akan beranjak kemana pun.
            Sementara itu, Nocturne in C Sharp Minor yang dimainkan jemari sang lelaki terdengar semakin lambat, temponya bertambah lambat, serupa kapas yang tidak kunjung mencium tanah sebab terus melayang-layang di udara. Temponya menjadi sangat lambat, seolah detik demi detik adalah menanti maut yang siap merenggut nyawa siapa saja. Dan temponya terus terdengar sangat lambat, seolah seluruh penghuni bumi tengah menanti kiamat. Lalu senyap, barangkali jika kau menjatuhkan sebatang jarum pasti akan terdengar. Lelaki itu mengangkat kedua tangannya ke udara dengan wajah yang terus menunduk.
            Jantung perempuan buta tiba-tiba berdegup kencang. Darahnya mengalir deras seperti arus sungai yang menghanyutkan kayu-kayu gelonggongan sebesar perut ibumu saat kau masih meringkuk dalam perutnya. Perempuan buta itu tidak mendengar suara apa-apa, tidak ada nada-nada, tidak terdengar lagi denting piano, seolah lelaki dan pianonya lenyap dihisap lumpur hidup. Yang kini terdengar adalah tarikan nafas berat seseorang dari lembah-lembah kesedihan yang terdalam. Udara jadi beku. Yang kini terdengar di telinga perempuan itu hanya tarikan dan desah nafas dari hidung dan mulut lelaki.  


Jakarta-Paris, 11 Desember 2007.
Seminggu sebelum perempuan buta memutuskan untuk berjalan-jalan dengan tongkatnya.
           
SAMBIL meminum teh hangat di beranda rumah, wajah kedua orangtua lelaki itu tampak sangat bahagia sebab mereka akan menghadiri kontes piano Chopin se-Prancis yang bertempat di gedung kesenian Paris. Bahagia sebab puteranya menjadi peserta kontes piano. Mereka terbang dari Jakarta dengan Boeing 747 milik Garuda Airlines. Mereka mengudara selama 14 jam untuk sampai di Paris. Namun kebahagiaan di wajah orangtuanya tidak mampu disaksikan lelaki itu. Dia mendapat pemberitahuan dari panitia bahwa pesawat Garuda yang di tumpangi ayah ibunya mengalami kerusakan. Pesawat Garuda jatuh berkeping-keping, tanpa ada seorang pun selamat dari kecelakaan paling naas itu.

16 Desember 2007.
Sehari sebelum perempuan buta mendengar permainan piano sang lelaki.

LELAKI itu telah menelpon ayahnya meberitahukan bahwa dia telah lolos dari babak kualifikasi di sebuah kota di Lyon, sehingga akan tampil di babak final kontes piano Chopin nanti. Kemudian dia pergi ke Paris mencari flat untuk menginap beberapa hari.
Di suatu sore, lelaki terlihat sedang berbicara dengan seorang perempuan tua gemuk, pemilik flat. Tampaknya tuan rumah begitu antusias mengetahui bahwa lelaki akan mengikuti kontes Chopin se-Prancis. Lalu perempuan tua berbadan penuh lemak itu memberitahukannya bahwa dia memiliki piano tua. Dan perempuan tua tidak keberatan jika lelaki itu ingin memakainya untuk berlatih. Lelaki tersenyum, setuju.

***

SEJAK mengetahui secara pasti kabar kematian orang tuanya. Mata sang lelaki sama sekali tidak meneteskan airmata seolah tidak terjadi apa-apa, ia tahan sekuat-kuatnya, seolah nama kedua orangtuanya tidak termasuk kedalam daftar penumpang meninggal yang diberitakan TV5 ataupun Canal+. Tubuhnya hanya mematung di hadapan televisi dengan mata yang berair di kelopak dan menggenang membasahi kedua bola matanya. Segera kakinya melangkah menuju piano tua dengan perasaan yang menggetarkan seluruh tubuhnya.
            Wajahnya pucat, hatinya serasa ditusuk ribuan jarum. Kakinya gemetar. Ingin ia berteriak agar seluruh Paris mendengar kesedihannya, tapi tidak ia lakukan.
            “Teng. Teng-teeng…”
Piano berdenting. Nafasnya tersengal-sengal saat menekan tuts-tuts piano. Tengah malam buta, nada-nada kesedihan mengalun di sebuah kamar. Tanpa tidur sedetik pun, lelaki itu terus menerus memainkan piano tua. Barangkali sudah beratus kali ia memainkan Nocturne in C Sharp Minor, menyayat malam kelam di hatinya. Sampai matahari terbit. Sampai merantai sepasang kaki seorang perempuan buta untuk terus  mendengar jerit manusia yang sedang bersedih hati itu.


KEDUA tangannya masih diangkatnya tinggi-tinggi ke udara dengan wajah tertunduk, terlihat seperti ingin menggapai sesuatu dari arah langit. Barangkali ingin sekali ia mengambil ruh ayah dan ibunya di sorga. Mengembalikannya ketubuh semula. Biar segalanya seperti sedia kala. Biar kembali bersama, menyaksikan dirinya tampil di atas stage yang disaksikan oleh ribuan orang-orang Prancis, sambil memainkan karya Chopin. Lihatlah, betapa akan kubuat bangga kalian!
            Namun yang ia gapai di udara hanyalah kekosongan, kedua tangannya hanya menggenggam udara, tidak meraih apa-apa. Batinnya terasa hampa. Dadaku terasa panas, serasa ada sepercik api menjilat-jilat jantungku. Nafasku tersengal-sengal. Tubuhku gemetar. Rasanya ingin kubakar semua ini, piano ini… batin lelaki itu.
            Tiba-tiba telapak tangan yang di udara mengepal, sesaat. Lalu terbuka lagi, seperti ada sesuatu yang teramat berat yang ditariknya dari udara. Tampaknya, berjuta ton kesedihan dan berjuta ton kehilangan yang ia tarik dari udara. Ia lemparkan segalanya ke atas tuts-tuts piano.
            “JREEEENG!”

PEREMPUAN buta tersentak, kaget. Lalu didengarnya suara seorang lelaki berteriak sekeras halilintar. Sampai ia harus menutup kupingnya. Teriakan kesedihan, teriakan kehilangan menggema keseluruh penjuru kota itu. Nafas lelaki terdengar seperti sehabis melakukan marathon berkilo-kilo meter. Setelah itu hening.
            “Excuse moi, permainan pianomu… Tak pernah kudengar yang seperti itu, menakjubkan namun menyedihkan. Mengalun indah namun menyayat hati.”  Suara lembut itu memecah keheningan yang tiba-tiba. Lalu diam dan segera melanjutkan langkah menuju gedung kesenian Paris. Cukup dekat dari tempatnya berdiri di depan jendela tadi. Tinggal melewati satu flat lagi, cukup berjalan lurus saja menyusuri trotoar ia akan segera sampai. Jemari tangan kiri perempuan buta terlihat sedang memainkan piano abstrak di udara.
Lelaki menoleh ke arah jendela dengan mata yang telah memerah, mata yang sembab.
            “Merci.”

***


Di depan pintu masuk gedung kesenian, perempuan buta disambut dua orang lelaki yang mengenakan tuksedo hitam.
            “Kontes akan segera dimulai madam, kami akan mengantar anda ke tempat dewan juri.”
Barangkali perempuan itu serupa Ray Charles, seorang pianis blues legendaris yang buta.


₰₰₰
ʞʞʞ

0 komentar:

Posting Komentar